Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta memperpanjang masa tanggap darurat Covid-19. Melansir sejumlah media, Gubernur Anies Rasyid Baswedan, secara resmi menghimbau agar perusahan di Ibu Kota agar memperpanjang masa pemberlakukan bekerja dari rumah (work from home) yang awalnya sampai 5 April kini menjadi 19 April 2020. Pembatasan mobilitas masyarakat dilakukan demi menekan angka penyebaran virus corona. Seperti kita ketahui bersama, Jakarta menjadi episentrum kota di Indonesia dengan jumlah kasus pasien positif terbanyak.

Keputusan pemerintah pusat untuk memberlakukan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) beberapa waktu lalu juga makin memperkuat alasan bagi kita untuk tidak keluar rumah jika tidak benar-benar dibutuhkan. Ini demi keselamatan dan kesehatan bersama.

“Untuk mengatasi dampak wabah tersebut, saya telah memutuskan dalam rapat kabinet bahwa opsi yang kita pilih adalah pembatasan sosial berskala besar,” ujar Presiden Joko Widodo dalam keterangan pers di Istana Bogor, Jawa Barat, Minggu (15/3/2020).

Kebijakan ini tak ayal membuat karyawan yang biasanya beraktifitas di Jakarta harus ikhlas menahan diri untuk tetap berada dirumah. Namun langkah physical distancing dengan pemberlakukan masa kerja di rumah ternyata menimbulkan masalah lain. Belakangan ramai anggota masyarakat yang masih sehat mengaku mengalami gangguan kesehatan mental. Suatu hal yang mungkin tidak banyak dibicarakan khalayak, atau malah malu sehingga dihindari oleh sebagian orang untuk dibahas.

Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI), dan sejumlah organisasi layanan psikolgi di Jakarta, sejak pekan lalu membuka layanan konsultasi gratis bagi mereka yang merasa mengalami ganggun kesehatan mental seperti stress selama masa isolasi ini. Jumlah orang yang menghubungi untuk mendapatkan layanan konseling makin hari semakin banyak. Orang yang mehubungi untuk mendapatkan koseling pun cukup beragam. Keluhan stress umumnya banyak dirasakan oleh pria-wanita dari dewasa muda hingga lansia, dengan rentang usia 20an sampau 76 tahun.

“Keluhan pasien yang datang beragam. Biasanya ada takut terpapar (corona), khawatir berlebihan hingga merasa jangan-jangan sudah tertular, dan bahkan kangen teman kerja,” tutur Zahrasari Lukita Dewi, S.Psi., M.Psi., Psikolog

Aya (sapaan Zahrasari) mengungkapkan mayoritas pasien yang ia tangani adalah pekerja kantor dan mahasasiswa. Umumnya mereka yang tinggal sendiri atau jauh dari keluarga. Menurutnya, mereka ini biasanya menjadikan rutinitas dan tempat kerja mereka sebagai pengalihan untuk mengobati kesendirian mereka.

Namun tidak sedikit juga yang mengaku jenuh karena terjebak pada rutinitas yang membosankan, ruang gerak yang sama dan terus bertemu dengan orang yang sama. Dalam kasus tertentu, WFH juga memparah kondisi seorang yang sejak awal sudah mengalami gangguan kesehatan mental.

“Jaga diri dan orang-orang yang kita kenal, baik secara fisik dan mental. Stres boleh dialami oleh setiap orang dan wajar, tapi yang perlu diingat kalau stress harus diatur dengan baik. Stress berlebih akan sangat menguras energi. Padahal tubuh membutuhkan antibodi dibutuhkan untuk melawan virus,” ujar Aya

Aya merekomendasikan untuk atur waktu dengan kegiatan yang produktif dan konstruktif. Terbuka dengan kondisi diri jika mengalami kebosanan atau stress. Aya menyebut ini merupakan saat yang tepat untuk merekoleksi diri sendiri dengan memperhatikan apa yang diri kita butuhkan setelah selama ini terfokus dengan ragam kegiatan.

Tujuan utama dari konseling yang diberikan oleh HIMPSI adalah untuk membantu rekan-rekan yang harus bekerja, atau belajar, dari rumah agar dapat tetap melakukakan kegiatan mereka secara produktif dan meredakan rasa stress. Konseling tidak hanya berhenti sampai setelah sesi berakhir tapi dilakukan follow up untuk melihat keberhasilan sesi konseling sebelumnya dan apakah pasien membutuhkan pendampingan lebih lanjut.

 

Physical Distancing: the new normal

Dra. Eunike Sri Tyas Suci, PhD, Psikolog., sebut bahwa kini adalah fenomena baru yang disebut the new normal. Pada pekan yang akan datang diprediksikan kalau masyarakat akan mengembangkan tren baru dimana orang sudah mulai “beradaptasi” dengan pola rutin #stayathome yang sudah hampir satu bulan terkahir dijalani.

“Dengan adanya Covid-19 kita mencoba untuk beradaptasi dengan kewajaran baru (new normal. Sebelumnya ketika bertemu orang normal untuk saling bersalaman kini normalnyatidak salaman,” ujar dosen Magister Psikolog Unika Atma Jaya ini.

“Setelah hampir empat minggu ini harusnya masyarkat sudah mulai dengan terbiasa dengan kebiasaan dan norma baru. Saya melihat bahwa kita mengikuti sebuah transisi baru prilaku masyarakat kita, yang awalnya panik luar biasa sekarang masuk minggu kelima terbiasa dengan tren yang begitu saja. Saya berharap sekarang ini keluarga-keluarga sudah mulai teradaptasi dengan gaya hidup baru ini, stay at home ini,” jelas Tyas yang juga Ketua Asosiasi Psikologi Kesehatan Indonesia.

Mengenai budaya kumpul-kumpul dan bersosialisasi yang kental dalam masayarkat Indonesia, Tyas sebut kalau hal itu normal karena pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial dan hal ini dialami oleh tiap kelompok masyarkat,

“Secara psikologis umur remaja dan remaja akhir, kecendrungan untuk ingin bersama-sama dengan peer groupnya dan itu normal dan kalau harus di rumah pasti stress sekali. Siapa dan dari belahan dunia mana pun kita berasal, manusia adalah social being yang perlu dan selalu ingin untuk berinteraksi. Ini akan memang menjadi tantangan tersendiri”

Tyas memang mengakui kalau kondisi sekarang sangat berpotensi untuk memicu tekanan kesehatan mental. Untuk itu Tyas sangat merekomendasikan agar seorang tetap terhubung dengan rekan, keluaraga, teman dari lingkungan pergaulan kita. Merangkum anjuran yang dikeluaran Association Psychology American dan American Psychiatric Association, Tyas merekomendasikan beberapa hal sederhana agar seseorang terhindar dari stress selama masa #WFH dan memberikan energi:

 

  1. Stay connected. Tetap terkoneksi secara sosial dengan teman-temen. Gawai kini amat memudahkan manusia modern untuk terhubung dengan sesamanya. Bangun komunikasi untuk mendiskusikan hal-hal baik dan membangun energi dan tidak melulu mengenai pademi.
  2. Batasi informasi mengenai corona. Paparan informasi yang tiap saat membanjiri group WhatsApp sering membuat kita tidak lagi bisa memilah masa berita yang benar sehingga membuat kita menjadi stress dan cemas. Tyas merekomendasikan kita untuk pilah berita dari paltfom berita tertentu dan batasi waktu konsumsi berita. Cukup dua kali dalam satu hari.
  3. Ikuti saran dari WHO.

Tyas menilai kalau situasi ini menjadi suatu kesempatan yang baik bagi keluarga di Indonesia. Budaya komunal, atau budaya bersama-sama, yang kental dalam keluaraga dan masyarakat Indonesia seharusnya membuat kita tidak kesulitan untuk tetap kerasan untuk tetap tinggal di rumah dan berinteraksi dengan keluaraga.

“Saya berharap dengan budaya komunal menjadi kekuatan untuk keluarga Indonesia untuk bisa tetap di rumah,” tutup Tyas.

Bagi Tyas ini menjadi suatu kesempatan baik untuk memperbaiki hubungan keluarga yang mungkin sempat memudar atau renggang karena mobilitas harian yang tinggi, khususnya bagi keluarga di kota metropolitan.

Fakultas Psikologi Unika Atma Jaya juga membuka layanan konseling online khusus pandemic Covid-19 dengan menghubungi alamat surel layananpsi.fp@atmajaya.ac.id atau melalui WA ke 0812 986 91914 setiap hari kerja mulai pukul 08.00 – 16.00 WIB (HCR)